Senin, 09 November 2015

Cinta Sebagai Suatu Faktor Dalam Perkawinan


Semangat Senin, hari ini kita mulai beraktifitas lagi, setelah kemarin di kalender tanggal merah, hari minggu hari libur ya :D. Pagi Senin ini aku di sambut dengan mata kuliah sosiologi keluarga dimana pada hari ini materi pembahasannya sangat menarik dan kita banget (soal cinta). Karena ini materi dari buku, semua kata-kata juga dari buku, jadi aku tidak bisa asal bercerita donk ya, semua harus berdasarkan fakta. Pada materi ini aku menggunakan buku yang berjudul Sosiologi Keluarga karangan William J. Goode halaman 76 - 88. Tapi di bawah ini aku akan memaparkan sedikit materi perkuliahan sosiologi keluarga ku pada hari ini yang berjudul “Pemilihan Jodoh Dan Perkawinan”. Ada tiga materi yang di paparkan pada pembahasan ini tapi yang aku tulis hanya satu bagian saja, yaitu bagian ketiga, yang mana pembahasannya sangat menarik dan mungkin membuat para pembaca ingin berkomentar jika sedang melaksanakan diskusi seperti yang aku laksanakan di perkuliahan tadi pagi.
Yang mana pada diskusi pada perkuliahan tadi aku sempat terpancing untuk bertanya pada kelompok pemateri hari ini. Ini pertanyaan yang aku ajukan tadi, tapi sebelumnya aku paparkan dulu pernyataan dari pertanyaan ku.
Pernyataan      : Cinta di anggap sebagai suatu ancaman terhadap sistem stratifikasi pada banyak masyarakat, dan orang-orang tua memperingatkan untuk tidak menggunakan cinta sebagai dasar pemilihan jodoh. Faktor-faktor kekayaan, pekerjaan, kasta, umur, atau agama kerap menjadi pertimbangan untuk menjadikan cinta sebagai dasar pemilihan jodoh.
Pertanyaan      : Bagaimana dengan sepasang kekasih yang saling mencintai, dan secara keseluruhan sudah mapan untuk melaksanakan pernikahan dan menjadikan cinta sebagai suatu dasar dalam pernikahan, apakah hal semacam ini masih dapat di katakan jika cinta adalah sebuah ancaman terhadap sistem stratifikasi masing-masing pihak? (curcol / Curhat Colongan) :D

CINTA SEBAGAI SUATU FAKTOR DALAM PERKAWINAN

Cinta di anggap sebagai suatu ancaman terhadap sistem stratifikasi pada banyak masyarakat, dan orang-orang tua memperingatkan untuk tidak menggunakan cinta sebagai dasar pemilihan jodoh. Tetapi sudah jelas bahwa jika faktor-faktor kekayaan, pekerjaan, kasta, umur, atau agama tidak dapat menggantikan cinta, kesemuanya itu bagaimanapun juga tidak akan mampu menciptakan ukuran baru yang lebih menyenangkan. Namun, cinta tetap penting dalam pembentukan perkawinan.
Proses penyaringan dan pergaulan membentuk kelompok-kelompok yang siap nikah, yang secara kasar mempunyai kedudukan setara dalam proses perkawinan.  Tetapi, proses-proses itu tidak menerangkan bagaimana terjadinya perjodohan terakhir menuju perkawinan.
Bersumber dari konsepsi Hendry A. Murray’s mengenai kebutuhan psikologis, Robert F. Wich dan kawan-kawannya telah mengemukakan bahwa “dalam pemilihan jodoh setiap orang mencari dalam lingkungannya orang yang diperkirakan dapat memberikan pengharapan terbesar untuk memenuhi kebutuhannya”. Dalam arti, mereka yang jatuh cinta pada umumnya sama dalam ciri sosialnya, tetapi saling melengkapi dalam kebutuhan psikologisnya.
Tanpa menganalisa masing-masing, kita cukup mengulangi hipotesa intinya : “pada pemilihan jodoh, pola kebutuhan pasangan yang satu melengkapi dan bukan sama dengan pola kebutuhan pasangan yang lain”.
Teori ini tidak mengatakan bahwa pada setiap kelompok yang siap nikah, seseorang akan menemukan seorang lain yang dapat memenuhi kebutuhannya atau cukup memuaskannya. Hal itu hanya menerangkan mengapa setiap orang dalam kelompok itu hanya tertarik pada orang tertentu. Teori inipun tidak meramalkan bahwa mereka yang saling memuaskan kebutuhannya akan bahagia setelah mereka menikah.
Faktor-faktor sosial mungkin juga menghalangi efektivitas saling mengimbangi saling mengacaukan pandangan seorang mengenai pola psikologis orang lain. Disamping itu, setiap orang memiliki perbedaan kemampuan untuk melihat atau meraba ciri-ciri psikologis orang lain, dan sebagai hasilnya sedikit orang yang merasakan bahwa pasangannya sedang memenuhi kebutuhannya, hanya karena mereka salah pandang mengenai apa yang dilakukan teman hidupnya.
Karena teori ini belum sempurna atau dicoba, masih ada beberapa kompleksitas yang perlu disebutkan. Mungkin yang terpenting sekali ialah bentuk atau profil kebutuhan-kebutuhan. Tetapi meskipun teori ini mempunyai banyak cabang menarik dan membingungkan, kegunaannya akan menjadi berkurang jika jatuh cinta itu, seperti apa yang sering diperkirakan, dan umum terjadi.
Cinta merupakan ancaman besar bagi sistem stratifikasi dan dikendalikan lewat satu atau beberapa cara. Hal itu dapat mengacaukan rencana para pengetua adat untuk menghubungkan dua garis turunan atau warisan-warisan keluarga, atau menghubungkan dua keluarga yang berkedudukan tinggi dengan yang berkedudukan rendah sehingga memalukan keluarga yang pertama. Oleh karena itu pemilihan jodoh membawa banyak akibat. Orang yang jatuh cinta harus melawan badai amarah, kekerasan, pengasingan, dan ketakutan diri sendiri untuk menikah.
Pengendalian yang paling baik dapat diperoleh, tentu saja dengan mengatur sebelum cinta itu timbul. Hidup bersama calon suami sebelum pernikahan dilaksanakan secara fisik, sehingga sang gadis lebih banyak kemungkinan jatuh cinta padanya daripada dengan orang lain. Pola ketiga untuk mengendalikan cinta, kadang-kadang juga dihubungankan dengan pola sebelumnya, menentukan dengan cermat status yang mana yang akan dihubungkan dengan perkawinan.
Cara lain untuk mengendalikan hubungan cinta ialah dengan pengawasan ketat, sehingga orang-orang muda sama sekali tidak diperbolehkan untuk berdua saja, atau berinteraksi secara akrab. Pemisahan sosial dapat dicapai dengan pemisahan secara pisik umpamanya sistem haram islam.
Dengan cara mengendalikan arus cinta, pengetua keluarga lebih bebas dalam soal penentuan jodoh satu dengan yang lain. Sebagai akibat, jika orang-orang muda diberi hak untuk memilih jodoh mereka sendiri, ialah hilangnya tipe-tipe mahar perkawinan sebagai suatu elemen yang telah melembaga dalam perjanjian nikah.
Sebelum memperbincangkan bobot nilai tukar dalam perkawinan yang sedemikian rupa pada berbagai kebudayaan lain, beberapa prinsip umum yang terlibat di dalamnya perlu dikemukakan
1)   Ke arah mana nilai yang lebih tinggi itu dicurahkan menunjukkan evaluasi relatif yang diberikan masyarakat terhadap kedua mempelai baru itu,
2)   Tidak menjadi soal kearah mana kekayaan yang terbesar itu dicurahkan, semua macam nilai tukar itu tetap akan merata di antara keluarga atau garis-garis keluarga,
3)     Keluarga yang menerima lebih banyak kekayaan selalu membalasnya dengan pemberian-pemberian lain, dan di antara mereka yang kaya biasanya menjadi suatu kebanggaan antara mereka untuk membuat pemberian kembalinya hampir senilai dengan apa yang di terimanya,
4)  Meskipun ada sistem mas kawin atau mahar, namun tetap ada kesempatan untuk kompromi dalam pengaturan perkawinan.
Di samping itu, sudah menjadi jelas bahwa dengan bertambahnya peranan cinta dalam masa berkencan, sehingga para tetua tidak mempunyai lagi kuasa untuk mengatur persiapan-persiapan yang telah mereka buat, mas kawin dan mahar menjadi kurang penting dalam sistem berkencan. Tambah lagi, tentu saja, orang-orang muda yang sedang jatuh cinta segan untuk tawar-menawar mengenai persoalan itu, dan juga tidak terdorong untuk mempertaruhkan perjodohan itu dengan mengadakan penawaran yang paling baik bagi tetua keluarga mereka. (seharusnya memang seperti itu!).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar