Semangat Senin, hari ini kita mulai beraktifitas lagi,
setelah kemarin di kalender tanggal merah, hari minggu hari libur ya :D. Pagi
Senin ini aku di sambut dengan mata kuliah sosiologi keluarga dimana pada hari
ini materi pembahasannya sangat menarik dan kita banget (soal cinta). Karena
ini materi dari buku, semua kata-kata juga dari buku, jadi aku tidak bisa asal
bercerita donk ya, semua harus berdasarkan fakta. Pada materi ini aku
menggunakan buku yang berjudul Sosiologi Keluarga karangan William J.
Goode halaman 76 - 88. Tapi di bawah ini aku akan memaparkan sedikit materi perkuliahan
sosiologi keluarga ku pada hari ini yang berjudul “Pemilihan Jodoh Dan
Perkawinan”. Ada tiga materi yang di paparkan pada pembahasan ini tapi yang
aku tulis hanya satu bagian saja, yaitu bagian ketiga, yang mana pembahasannya
sangat menarik dan mungkin membuat para pembaca ingin berkomentar jika sedang
melaksanakan diskusi seperti yang aku laksanakan di perkuliahan tadi pagi.
Yang mana pada diskusi pada perkuliahan tadi aku sempat
terpancing untuk bertanya pada kelompok pemateri hari ini. Ini pertanyaan yang
aku ajukan tadi, tapi sebelumnya aku paparkan dulu pernyataan dari pertanyaan
ku.
Pernyataan
: Cinta di anggap sebagai suatu ancaman terhadap sistem stratifikasi pada
banyak masyarakat, dan orang-orang tua memperingatkan untuk tidak menggunakan
cinta sebagai dasar pemilihan jodoh. Faktor-faktor kekayaan, pekerjaan, kasta,
umur, atau agama kerap menjadi pertimbangan untuk menjadikan cinta sebagai
dasar pemilihan jodoh.
Pertanyaan
: Bagaimana dengan sepasang kekasih yang saling
mencintai, dan secara keseluruhan sudah mapan untuk melaksanakan pernikahan dan
menjadikan cinta sebagai suatu dasar dalam pernikahan, apakah hal semacam ini
masih dapat di katakan jika cinta adalah sebuah ancaman terhadap sistem
stratifikasi masing-masing pihak? (curcol / Curhat Colongan) :D
CINTA
SEBAGAI SUATU FAKTOR DALAM PERKAWINAN
Cinta di anggap sebagai suatu ancaman terhadap sistem
stratifikasi pada banyak masyarakat, dan orang-orang tua memperingatkan untuk
tidak menggunakan cinta sebagai dasar pemilihan jodoh. Tetapi sudah jelas bahwa
jika faktor-faktor kekayaan, pekerjaan, kasta, umur, atau agama tidak dapat menggantikan
cinta, kesemuanya itu bagaimanapun juga tidak akan mampu menciptakan ukuran
baru yang lebih menyenangkan. Namun, cinta tetap penting dalam pembentukan
perkawinan.
Proses penyaringan dan pergaulan membentuk kelompok-kelompok
yang siap nikah, yang secara kasar mempunyai kedudukan setara dalam proses
perkawinan. Tetapi, proses-proses itu tidak menerangkan bagaimana
terjadinya perjodohan terakhir menuju perkawinan.
Bersumber
dari konsepsi Hendry A. Murray’s mengenai kebutuhan psikologis, Robert F. Wich
dan kawan-kawannya telah mengemukakan bahwa “dalam pemilihan jodoh setiap orang
mencari dalam lingkungannya orang yang diperkirakan dapat memberikan
pengharapan terbesar untuk memenuhi kebutuhannya”. Dalam arti, mereka yang
jatuh cinta pada umumnya sama dalam ciri sosialnya, tetapi saling melengkapi
dalam kebutuhan psikologisnya.
Tanpa menganalisa masing-masing, kita cukup mengulangi
hipotesa intinya : “pada pemilihan jodoh, pola kebutuhan pasangan yang satu
melengkapi dan bukan sama dengan pola kebutuhan pasangan yang lain”.
Teori
ini tidak mengatakan bahwa pada setiap kelompok yang siap nikah, seseorang akan
menemukan seorang lain yang dapat memenuhi kebutuhannya atau cukup
memuaskannya. Hal itu hanya menerangkan mengapa setiap orang dalam kelompok itu
hanya tertarik pada orang tertentu. Teori inipun tidak meramalkan bahwa mereka
yang saling memuaskan kebutuhannya akan bahagia setelah mereka menikah.
Faktor-faktor sosial mungkin juga menghalangi efektivitas
saling mengimbangi saling mengacaukan pandangan seorang mengenai pola
psikologis orang lain. Disamping itu, setiap orang memiliki perbedaan kemampuan
untuk melihat atau meraba ciri-ciri psikologis orang lain, dan sebagai hasilnya
sedikit orang yang merasakan bahwa pasangannya sedang memenuhi kebutuhannya,
hanya karena mereka salah pandang mengenai apa yang dilakukan teman hidupnya.
Karena teori ini belum sempurna atau dicoba, masih ada
beberapa kompleksitas yang perlu disebutkan. Mungkin yang terpenting sekali
ialah bentuk atau profil kebutuhan-kebutuhan. Tetapi meskipun teori ini
mempunyai banyak cabang menarik dan membingungkan, kegunaannya akan menjadi
berkurang jika jatuh cinta itu, seperti apa yang sering diperkirakan, dan umum
terjadi.
Cinta merupakan ancaman besar bagi sistem stratifikasi dan dikendalikan
lewat satu atau beberapa cara. Hal itu dapat mengacaukan rencana para pengetua
adat untuk menghubungkan dua garis turunan atau warisan-warisan keluarga, atau
menghubungkan dua keluarga yang berkedudukan tinggi dengan yang berkedudukan
rendah sehingga memalukan keluarga yang pertama. Oleh karena itu pemilihan
jodoh membawa banyak akibat. Orang yang jatuh cinta harus melawan badai amarah,
kekerasan, pengasingan, dan ketakutan diri sendiri untuk menikah.
Pengendalian yang paling baik dapat diperoleh, tentu saja
dengan mengatur sebelum cinta itu timbul. Hidup bersama calon suami sebelum
pernikahan dilaksanakan secara fisik, sehingga sang gadis lebih banyak
kemungkinan jatuh cinta padanya daripada dengan orang lain. Pola ketiga untuk
mengendalikan cinta, kadang-kadang juga dihubungankan dengan pola sebelumnya,
menentukan dengan cermat status yang mana yang akan dihubungkan dengan
perkawinan.
Cara lain untuk mengendalikan hubungan cinta ialah dengan
pengawasan ketat, sehingga orang-orang muda sama sekali tidak diperbolehkan
untuk berdua saja, atau berinteraksi secara akrab. Pemisahan sosial dapat
dicapai dengan pemisahan secara pisik umpamanya sistem haram islam.
Dengan cara mengendalikan arus cinta, pengetua keluarga
lebih bebas dalam soal penentuan jodoh satu dengan yang lain. Sebagai akibat,
jika orang-orang muda diberi hak untuk memilih jodoh mereka sendiri, ialah
hilangnya tipe-tipe mahar perkawinan sebagai suatu elemen yang telah melembaga
dalam perjanjian nikah.
Sebelum memperbincangkan bobot nilai tukar dalam perkawinan
yang sedemikian rupa pada berbagai kebudayaan lain, beberapa prinsip umum yang
terlibat di dalamnya perlu dikemukakan
1) Ke arah mana nilai yang lebih tinggi
itu dicurahkan menunjukkan evaluasi relatif yang diberikan masyarakat terhadap
kedua mempelai baru itu,
2) Tidak menjadi soal kearah mana
kekayaan yang terbesar itu dicurahkan, semua macam nilai tukar itu tetap akan
merata di antara keluarga atau garis-garis keluarga,
3) Keluarga yang menerima lebih banyak kekayaan
selalu membalasnya dengan pemberian-pemberian lain, dan di antara mereka yang
kaya biasanya menjadi suatu kebanggaan antara mereka untuk membuat pemberian
kembalinya hampir senilai dengan apa yang di terimanya,
4) Meskipun ada sistem mas kawin atau
mahar, namun tetap ada kesempatan untuk kompromi dalam pengaturan perkawinan.
Di samping itu, sudah menjadi jelas bahwa dengan
bertambahnya peranan cinta dalam masa berkencan, sehingga para tetua tidak
mempunyai lagi kuasa untuk mengatur persiapan-persiapan yang telah mereka buat,
mas kawin dan mahar menjadi kurang penting dalam sistem berkencan. Tambah lagi,
tentu saja, orang-orang muda yang sedang jatuh cinta segan untuk tawar-menawar
mengenai persoalan itu, dan juga tidak terdorong untuk mempertaruhkan
perjodohan itu dengan mengadakan penawaran yang paling baik bagi tetua keluarga
mereka. (seharusnya memang seperti itu!).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar