Awal
pertemuan, saat dimana masa-masa PPLK disemester 7 ku, aku tidak
benar-benar yakin jika aku bisa berbaur dengan mereka, karena kondisi psikis ku
pun sangat tidak mengizinkan hari itu. Saat perkenalan aku hanya diam membisu
dihadapan mereka sembari seorang rekan ku mencoba menutupi kekakuan ku dengan
memperkenalkan aku kepada mereka, sementara aku tak mengucapkan sepatah katapun
hanya tersenyum hingga akhir pertemuan dihari pertama perkenalan itu tetap mengharuskan aku untuk ikut menyapa mereka satu persatu. Sungguh rasanya aku
tidak sanggup untuk menjalankan tugas disemester tujuh ku itu. Jangankan untuk
memikirkan mereka, memikirkan diriku sendiri saja sudah tak sanggup lagi
rasanya kulakukan. Tak yakin mereka akan menyukai dan nyaman dengan kehadiran
ku, dan tak yakin aku bisa mengontrol emosi saat berhadapan dengan mereka. Karena
tau sendiri bagaimana tingkahnya anak seusia itu. Tapi demi diri ku, masa depan
ku, ibu yang telah menguliahkan aku, ayah yang selalu mengirimi belanja ku,
serta keluarga, sahabat dan teman-teman yang tak pernah putus menyemangati ku
maka dari itu aku mencoba untuk pelan-pelan masuk kedalam dunia baru ku itu. Layaknya
memang seorang guru yang bertugas mendidik juga mengajar siswa dan siswi, aku
berusaha untuk mendewasakan diri, aku berusaha untuk tidak membawa gemelut hati
ku hari itu ke sekolah setiap kali aku mengajar. Tapi kondisi memang tidak bisa
dibohongi hingga salah satu dari mereka bertanya pada ku. Mengapa aku berbeda
dari rekan-rekan ku. Tapi aku tak bisa menceritakan apa yang sebenarnya aku
alami kepada mereka, bagi ku gemelut hati ku biarlah aku simpan sendiri mereka
tak tau apa-apa atas masalah ku justru akulah yang bersalah karena sulit sekali
bagi ku untuk menyeimbangkan posisi ku.
Seminggu,
dua minggu, sebulan, dua bulan, hingga tak terasa sudah lima bulan aku mengajar
di sekolah itu. Aku melihat mereka mulai nyaman dengan keberadaan ku hingga
tibalah waktu yang pas untuk aku menjawab pertanyaan yang selalu mereka
lontarkan pada ku, sungguh berurai air mata aku bercerita hari itu. Namun tak
ku sangka ternyata mereka memberikan support dan berbagai respon positif atas
gemelut hati ku itu, aku semakin dekat dengan meraka yang justru membuat aku
merasa sedih saat urusan ku di sekolah itu selesai dan aku harus meninggalkan mereka.
Mulai
hari itulah aku sepakat dengan hati ku untuk berdamai dengan segala hal yang
menyulitkan hari-hari ku, aku putuskan untuk tidak lagi berharap dan tidak lagi
memikirkan apa-apa yang telah berusaha menjatuhkan asa ku, aku yakinkan diri ku
sendiri bahwa betapa banyak orang-orang diluar sana yang menyayangi ku, perduli
dan sangat ingin aku kembali ceria seperti dulu. Betapa banyak orang-orang yang
tak pernah berhenti menyemangati ku.
Dan
hari ini saat aku kembali ditugaskan ke sekolah itu, sambutan histeris merekalah
yang pertama kali menyapa kedatangan ku, mereka kembali menyalami ku seperti
hari-hari aku mengajar di sekolah itu, sangat sempurna kebahagiaan yang aku
rasakan saat ini bahkan tak pernah aku merasa sebahagia ini yang justru membuat
aku merasa sangat bersyukur atas gemelut hati yang menimpa ku hari itu, karena
dari gemelut itulah aku menjadi tau bahwa mereka yang mencintai ku sudah pasti
akan selalu ada untuk ku menyemangati ku yaitu mereka siswa siswi ku, dan dari
gemelut itulah aku menyadari betapa mereka sangat berarti, tak dapat
ku bayangkan ntah bagaimana semester 7 ku jika aku tidak dipertemukan
dengan mereka hari itu, Merekalah obat dari gemelut hati ku, obat yang tak dijual
diapotik manapun itu, bahkan dokter dan psikolog pribadi ku pun tak mampu
meresepkan obat semacam itu untuk ku. Terimakasih siswa dan siswi ku.