Sabtu, 13 Mei 2017

My Students



Awal pertemuan, saat dimana masa-masa PPLK disemester 7 ku, aku tidak benar-benar yakin jika aku bisa berbaur dengan mereka, karena kondisi psikis ku pun sangat tidak mengizinkan hari itu. Saat perkenalan aku hanya diam membisu dihadapan mereka sembari seorang rekan ku mencoba menutupi kekakuan ku dengan memperkenalkan aku kepada mereka, sementara aku tak mengucapkan sepatah katapun hanya tersenyum hingga akhir pertemuan dihari pertama perkenalan itu tetap mengharuskan aku untuk ikut menyapa mereka satu persatu. Sungguh rasanya aku tidak sanggup untuk menjalankan tugas disemester tujuh ku itu. Jangankan untuk memikirkan mereka, memikirkan diriku sendiri saja sudah tak sanggup lagi rasanya kulakukan. Tak yakin mereka akan menyukai dan nyaman dengan kehadiran ku, dan tak yakin aku bisa mengontrol emosi saat berhadapan dengan mereka. Karena tau sendiri bagaimana tingkahnya anak seusia itu. Tapi demi diri ku, masa depan ku, ibu yang telah menguliahkan aku, ayah yang selalu mengirimi belanja ku, serta keluarga, sahabat dan teman-teman yang tak pernah putus menyemangati ku maka dari itu aku mencoba untuk pelan-pelan masuk kedalam dunia baru ku itu. Layaknya memang seorang guru yang bertugas mendidik juga mengajar siswa dan siswi, aku berusaha untuk mendewasakan diri, aku berusaha untuk tidak membawa gemelut hati ku hari itu ke sekolah setiap kali aku mengajar. Tapi kondisi memang tidak bisa dibohongi hingga salah satu dari mereka bertanya pada ku. Mengapa aku berbeda dari rekan-rekan ku. Tapi aku tak bisa menceritakan apa yang sebenarnya aku alami kepada mereka, bagi ku gemelut hati ku biarlah aku simpan sendiri mereka tak tau apa-apa atas masalah ku justru akulah yang bersalah karena sulit sekali bagi ku untuk menyeimbangkan posisi ku.
Seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, hingga tak terasa sudah lima bulan aku mengajar di sekolah itu. Aku melihat mereka mulai nyaman dengan keberadaan ku hingga tibalah waktu yang pas untuk aku menjawab pertanyaan yang selalu mereka lontarkan pada ku, sungguh berurai air mata aku bercerita hari itu. Namun tak ku sangka ternyata mereka memberikan support dan berbagai respon positif atas gemelut hati ku itu, aku semakin dekat dengan meraka yang justru membuat aku merasa sedih saat urusan ku di sekolah itu selesai dan aku harus meninggalkan mereka.
Mulai hari itulah aku sepakat dengan hati ku untuk berdamai dengan segala hal yang menyulitkan hari-hari ku, aku putuskan untuk tidak lagi berharap dan tidak lagi memikirkan apa-apa yang telah berusaha menjatuhkan asa ku, aku yakinkan diri ku sendiri bahwa betapa banyak orang-orang diluar sana yang menyayangi ku, perduli dan sangat ingin aku kembali ceria seperti dulu. Betapa banyak orang-orang yang tak pernah berhenti menyemangati ku.
Dan hari ini saat aku kembali ditugaskan ke sekolah itu, sambutan histeris merekalah yang pertama kali menyapa kedatangan ku, mereka kembali menyalami ku seperti hari-hari aku mengajar di sekolah itu, sangat sempurna kebahagiaan yang aku rasakan saat ini bahkan tak pernah aku merasa sebahagia ini yang justru membuat aku merasa sangat bersyukur atas gemelut hati yang menimpa ku hari itu, karena dari gemelut itulah aku menjadi tau bahwa mereka yang mencintai ku sudah pasti akan selalu ada untuk ku menyemangati ku yaitu mereka siswa siswi ku, dan dari gemelut itulah aku menyadari betapa mereka sangat berarti, tak dapat ku bayangkan ntah bagaimana semester 7 ku jika aku tidak dipertemukan dengan mereka hari itu, Merekalah obat dari gemelut hati ku, obat yang tak dijual diapotik manapun itu, bahkan dokter dan psikolog pribadi ku pun tak mampu meresepkan obat semacam itu untuk ku. Terimakasih siswa dan siswi ku.