Selasa, 01 Desember 2015

Dalam Sakitpun Bertemankan Sepi




          Sudah 2 bulan ini kondisi ku sedikit memburuk. Berawal dari kabut asap tebal yang sempat melanda pulau Sumatera ini. Awalnya aku kira ini hanya hal biasa yang di sebabkan oleh kabut asap yang semakin tebal sehingga aku tidak begitu menghiraukan gejala-gejala seperti tenggorokan berdahak dan rasa ingin meludah terus menerus dan akupun tidak langsung mengunjungi dokter karena ku kira kondisi ku bisa pulih seiring bergantinya cuaca. Namun saat ini kabut sudah tak lagi ada, cuaca sudah bersih, bahkan sudah memasuki musim hujan, tapi keadaan ku masih sama, masih terasa ada yang mengganjal di tenggorokkan ku. Hal ini bukan saja membuat aku khawatir melainkan juga membuat aktivitas ku sedikit terganggu, terlebih aku hidup bertetangga, tak enak jika harus membuat mereka tidak nyaman karena kabisingan ku.
        Tak betah dengan keadaan yang tak kunjung membaik, aku pun lantas mengunjungi salah satu rumah sakit di kota tempat tinggal ku ini untuk memeriksakan langsung pada dokter spesialis THT. Kebetulan aku memiliki kartu berobat yang di keluarkan oleh perusahaan tempat papa ku bekerja di kota seberang. Jika di kota seberang kartu tersebut bisa di gunakan di rumah sakit rujukan yang di tunjuk oleh pihak perusahan dan tidak di kenakan biaya saat berobat. Dengan berharap hal tersebut juga berlaku di rumah sakit di kota tempat tinggal ku ini akupun menunjukkan kartu berobat yang ku miliki tersebut pada pihak rumah sakit. Tapi ternyata di sini kartu tersebut tidak bisa dengan mudahnya di gunakan, harus ada surat rujukan dari perusahan atau apalah namanya sebagai persyaratan yang harus di penuhi. Karena tidak ingin ambil pusing akupun langsung meminta untuk pembayaran pribadi saja untuk semua biaya pengobatan ku ini. Setelah semua urusan ku dengan pihak rumah sakit selesai bagian administrasipun memberikan note pembayaran yang harus aku lunasi. Alangkah terkejutnya aku, jumlah yang tertera cukup banyak untuk seorang mahasiswa dan anak kosan seperti aku ini. Terlebih aku harus membayar sendiri semua pembiayaan ini. Sudah jelas jika urusannnya adalah uang papa memang agak sedikit sulit semenjak ia menikah lagi.
            Hingga puncak kesedihan ku terjadi ketika aku menelepon papa ku. Belum lagi terucap oleh ku total jumlah keseluruhannya, tapi papa sudah terlebih dulu berkata “berapa semuanya? Kamu ada uang? Papa tidak ada memegang uang saat ini?” Sembari beliau menggerutu kepada ku seperti beliau keberatan dengan tindakan ku berobat ini. Selalu seperti itu. Ucapan beliau jika yang aku bahas adalah uang. Menetes air mata ku, menangis aku sejadi-jadinya. Apakah orang seperti aku yang berasal dari keluarga sederhana, anak piatu, dan beribu tiri tidak boleh sakit? Apakah sakit hanya untuk orang-orang yang berduit? :’( Terkadag terasa pilu hati ku kenapa dari kecil aku mudah sekali sakit. Padahal aku sangat tidak ingin merepotkan orang lain. Untuk berobat saja aku beranikan sendiri ke rumah sakit, tanpa ada yang menemani ku. Bagaikan hidup ku ini memang sebatang kara. Tapi aku tak pernah berkecil hati. Lantas apakah aku seberani itu untuk membebani meraka tentang biaya karena aku juga tau betul kondisi keuangan keluarga ku saat ini. Aku sudah iklaskan dari awal jika aku akan gunakan uang tabungan ku berapapun jumlahnya. Walaupun ternyata jumlahnya tidak sedikit. Asalkan aku mendapatkan penanganan dari dokter. Namun tetap ada rasa sedih di dalam hati ku, uang tabungan yang aku tabung kini semakin berkurang, tapi aku mencoba untuk mengerti itulah kegunaan tabungan meskipun sekali terpakai dalam jumlah yang banyak. Aku percaya insyaallah di kemudian hari akan datang lagi rizki kepada ku dan keluarga ku, yang terpenting aku tidak membebani orang lain.
           Kepiluan ini terasa semakin sempurna ketika ku lihat di samping ku tak ada siapa-siapa hanya ada aku bertemankan sepi yang membelenggu diri. Bahkan ponsel kupun tak berbunyi, seolah tak ada yang ingin tau keadaan ku. Tapi tak mengapa aku sudah cukup terbiasa dengan keadaan semacam ini. Tak ingin ku tambah beban fikirian lagi hanya karena aku merasa seorang diri. Sekiranya aku sudah cukup mengerti tentang sebuah kemandirian. Dari remajapun aku sudah seperti ini. Ketika aku mulai menginjak remaja awal dan usia ku baru 16 tahun saat itu mama ku meninggal dunia, lalu setahun berselang adik ku di pindah sekolahkan oleh papa ku ke sebuah pesantren di kota seberang dan kemudian tahun berikutnya papa ku memutuskan untuk megakhiri masa dudanya dengan menikahi perempuan yang tidak aku kenali sama sekali batang hidungnya. Dan saat itu di rumah hanya tersisa aku dan nenek. Tapi setahun kemudian lagi aku lulus dari bangku SMA. Dan melanjutkan perkulihan di kota ini. Masih belum sendiri. Awalnya di sini ada aku dan juga kekasih ku. Kami berjuang bersama di sini untuk menatap masa depan. Namun dua tahun berlalu dari masa perkuliahan ku, kekasih ku itu memutuskan untuk meninggalkan kota ini dengan beberapa alasan pribadi yang tak mungkin aku ceritakan di sini. Dan itulah puncak dari kesendirian ku. Aku yang terbiasa bergantung padanya kini sudah tidak lagi, aku sudah harus bisa apa-apa sendiri. Sempat ia kembali memijakkan kaki di kota ini, awalnya aku fikir ia akan kembali berada di sini bersama-sama menemani ku. Tapi ternyata tidak seperti itu, melainkan ia hanya numpang lewat saja di sini. Hari itu aku mengantarkannya ke loket yang jaraknya cukup jauh dari kosan ku. Dengan bermodalkan nekat ku terobos dingin dan gelapnya malam yang mencekam. Ku lepas perjalanannya dengan ku ciumi dahi tangannya. Air mata ku terasa menetes namun bukan keluar, melainkan larut kedalam hati ku. Aku merasakan kesedihan atas kesendirian yang kembali aku rasakan. Dan kesedihan itu semakin terasa nyata ketika beberapa minggu sesampai ia pada kota tujuannya itu. Sebuah perkara yang aku ciptakan ternyata membuatnya teramat kecewa pada ku. Sehingga terjadilah diskomunikasi di antara kami berdua. Dan hingga pada keadaan ku hari ini aku tak berani mengabarinya apa-apa.
         Aku tidak pernah tau mengapa keadaannya menjadi seperti ini. Kadang aku berfikir dari sekian banyak manusia di muka bumi ini kenapa harus mama ku yang meninggakan ku saat itu. Semenjak beliau tak ada semua berubah untuk ku. Tak ada yang bisa aku andalkan untuk ikut menopang kepiluan ku dan menjadi tempat untuk aku mencurahkan kelu dan kesah ku. Bahkan sedari aku bangun di pagi hari hingga ku terlelap malamnya keadaan masih serupa. Apakah tidak cukup dengan memposisikan orang-orang yang aku sayangi saat ini berada jauh dari ku? Lantas mengapa harus di tambah dengan adanya diskomunikasi lagi. Rasanya pilu, sedih. Aku merindukan kalian semua yang seperti dulu lagi. Ingin ku rasakan lagi keramaian di dalam hati meskipun harus ku kunjungi mereka satu persatu. Namun aku tak mau menjadi benalu. Sudah pernah terjadi saat aku mengunjungi adik dan papa ku, meraka justru tampak terbebani dengan kedatangan ku, mungkin bagi mereka aku datang untuk meminta uang, bahkan tidak seperti itu aku hanya ingin melewatkan liburan ku dan merasakan keramaian bersama mereka. Lantas jika aku berkunjung ke tempat kekasih ku, apa yang akan terjadi? Ntah lah. Aku hanya ragu ia tak memperdulikan ku.
          Untuk diri yang saat ini tengah sakit, sebelumnya aku pernah mengalami sakit yang cukup menghawatirkan diri ku dan Alhamdulillah sekarang aku sudah sembuh, semoga untuk yang kali ini allah juga berkenan memberi kemudahan pada kesembuhan ku, dan untuk hati yang saat ini tengah rapuh ku harap masih bisa terus untuk bersabar. Semoga sabar bisa menjadi penolong untuk ku dalam keheningan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar