Sudah 2 bulan ini kondisi ku sedikit
memburuk. Berawal dari kabut asap tebal yang sempat melanda pulau Sumatera ini.
Awalnya aku kira ini hanya hal biasa yang di sebabkan oleh kabut asap yang
semakin tebal sehingga aku tidak begitu menghiraukan gejala-gejala seperti
tenggorokan berdahak dan rasa ingin meludah terus menerus dan akupun tidak
langsung mengunjungi dokter karena ku kira kondisi ku bisa pulih seiring
bergantinya cuaca. Namun saat ini kabut sudah tak lagi ada, cuaca sudah bersih,
bahkan sudah memasuki musim hujan, tapi keadaan ku masih sama, masih terasa ada
yang mengganjal di tenggorokkan ku. Hal ini bukan saja membuat aku khawatir
melainkan juga membuat aktivitas ku sedikit terganggu, terlebih aku hidup
bertetangga, tak enak jika harus membuat mereka tidak nyaman karena kabisingan
ku.
Tak betah dengan keadaan yang tak
kunjung membaik, aku pun lantas mengunjungi salah satu rumah sakit di kota
tempat tinggal ku ini untuk memeriksakan langsung pada dokter spesialis THT.
Kebetulan aku memiliki kartu berobat yang di keluarkan oleh perusahaan tempat
papa ku bekerja di kota seberang. Jika di kota seberang kartu tersebut bisa di
gunakan di rumah sakit rujukan yang di tunjuk oleh pihak perusahan dan tidak di
kenakan biaya saat berobat. Dengan berharap hal tersebut juga berlaku di rumah
sakit di kota tempat tinggal ku ini akupun menunjukkan kartu berobat yang ku
miliki tersebut pada pihak rumah sakit. Tapi ternyata di sini kartu tersebut
tidak bisa dengan mudahnya di gunakan, harus ada surat rujukan dari perusahan
atau apalah namanya sebagai persyaratan yang harus di penuhi. Karena tidak
ingin ambil pusing akupun langsung meminta untuk pembayaran pribadi saja untuk
semua biaya pengobatan ku ini. Setelah semua urusan ku dengan pihak rumah sakit
selesai bagian administrasipun memberikan note pembayaran yang harus aku
lunasi. Alangkah terkejutnya aku, jumlah yang tertera cukup banyak untuk
seorang mahasiswa dan anak kosan seperti aku ini. Terlebih aku harus membayar
sendiri semua pembiayaan ini. Sudah jelas jika urusannnya adalah uang papa
memang agak sedikit sulit semenjak ia menikah lagi.
Hingga puncak kesedihan ku terjadi ketika
aku menelepon papa ku. Belum lagi terucap oleh ku total jumlah keseluruhannya,
tapi papa sudah terlebih dulu berkata “berapa semuanya? Kamu ada uang? Papa
tidak ada memegang uang saat ini?” Sembari beliau menggerutu kepada ku seperti
beliau keberatan dengan tindakan ku berobat ini. Selalu seperti itu. Ucapan
beliau jika yang aku bahas adalah uang. Menetes air mata ku, menangis aku
sejadi-jadinya. Apakah orang seperti aku yang berasal dari keluarga sederhana,
anak piatu, dan beribu tiri tidak boleh sakit? Apakah sakit hanya untuk
orang-orang yang berduit? :’( Terkadag terasa pilu hati ku kenapa dari kecil
aku mudah sekali sakit. Padahal aku sangat tidak ingin merepotkan orang lain.
Untuk berobat saja aku beranikan sendiri ke rumah sakit, tanpa ada yang menemani
ku. Bagaikan hidup ku ini memang sebatang kara. Tapi aku tak pernah berkecil
hati. Lantas apakah aku seberani itu untuk membebani meraka tentang biaya karena
aku juga tau betul kondisi keuangan keluarga ku saat ini. Aku sudah iklaskan
dari awal jika aku akan gunakan uang tabungan ku berapapun jumlahnya. Walaupun
ternyata jumlahnya tidak sedikit. Asalkan aku mendapatkan penanganan dari
dokter. Namun tetap ada rasa sedih di dalam hati ku, uang tabungan yang aku
tabung kini semakin berkurang, tapi aku mencoba untuk mengerti itulah kegunaan
tabungan meskipun sekali terpakai dalam jumlah yang banyak. Aku percaya
insyaallah di kemudian hari akan datang lagi rizki kepada ku dan keluarga ku,
yang terpenting aku tidak membebani orang lain.
Kepiluan ini terasa semakin sempurna
ketika ku lihat di samping ku tak ada siapa-siapa hanya ada aku bertemankan
sepi yang membelenggu diri. Bahkan ponsel kupun tak berbunyi, seolah tak ada
yang ingin tau keadaan ku. Tapi tak mengapa aku sudah cukup terbiasa dengan
keadaan semacam ini. Tak ingin ku tambah beban fikirian lagi hanya karena aku
merasa seorang diri. Sekiranya aku sudah cukup mengerti tentang sebuah
kemandirian. Dari remajapun aku sudah seperti ini. Ketika aku mulai menginjak
remaja awal dan usia ku baru 16 tahun saat itu mama ku meninggal dunia, lalu
setahun berselang adik ku di pindah sekolahkan oleh papa ku ke sebuah pesantren
di kota seberang dan kemudian tahun berikutnya papa ku memutuskan untuk
megakhiri masa dudanya dengan menikahi perempuan yang tidak aku kenali sama
sekali batang hidungnya. Dan saat itu di rumah hanya tersisa aku dan nenek.
Tapi setahun kemudian lagi aku lulus dari bangku SMA. Dan melanjutkan
perkulihan di kota ini. Masih belum sendiri. Awalnya di sini ada aku dan juga
kekasih ku. Kami berjuang bersama di sini untuk menatap masa depan. Namun dua
tahun berlalu dari masa perkuliahan ku, kekasih ku itu memutuskan untuk
meninggalkan kota ini dengan beberapa alasan pribadi yang tak mungkin aku
ceritakan di sini. Dan itulah puncak dari kesendirian ku. Aku yang terbiasa
bergantung padanya kini sudah tidak lagi, aku sudah harus bisa apa-apa sendiri.
Sempat ia kembali memijakkan kaki di kota ini, awalnya aku fikir ia akan
kembali berada di sini bersama-sama menemani ku. Tapi ternyata tidak seperti itu,
melainkan ia hanya numpang lewat saja di sini. Hari itu aku mengantarkannya ke
loket yang jaraknya cukup jauh dari kosan ku. Dengan bermodalkan nekat ku
terobos dingin dan gelapnya malam yang mencekam. Ku lepas perjalanannya dengan
ku ciumi dahi tangannya. Air mata ku terasa menetes namun bukan keluar,
melainkan larut kedalam hati ku. Aku merasakan kesedihan atas kesendirian yang
kembali aku rasakan. Dan kesedihan itu semakin terasa nyata ketika beberapa
minggu sesampai ia pada kota tujuannya itu. Sebuah perkara yang aku ciptakan
ternyata membuatnya teramat kecewa pada ku. Sehingga terjadilah diskomunikasi
di antara kami berdua. Dan hingga pada keadaan ku hari ini aku tak berani
mengabarinya apa-apa.
Aku tidak pernah tau mengapa
keadaannya menjadi seperti ini. Kadang aku berfikir dari sekian banyak manusia
di muka bumi ini kenapa harus mama ku yang meninggakan ku saat itu. Semenjak
beliau tak ada semua berubah untuk ku. Tak ada yang bisa aku andalkan untuk
ikut menopang kepiluan ku dan menjadi tempat untuk aku mencurahkan kelu dan
kesah ku. Bahkan sedari aku bangun di pagi hari hingga ku terlelap malamnya
keadaan masih serupa. Apakah tidak cukup dengan memposisikan orang-orang yang
aku sayangi saat ini berada jauh dari ku? Lantas mengapa harus di tambah dengan
adanya diskomunikasi lagi. Rasanya pilu, sedih. Aku merindukan kalian semua
yang seperti dulu lagi. Ingin ku rasakan lagi keramaian di dalam hati meskipun
harus ku kunjungi mereka satu persatu. Namun aku tak mau menjadi benalu. Sudah
pernah terjadi saat aku mengunjungi adik dan papa ku, meraka justru tampak
terbebani dengan kedatangan ku, mungkin bagi mereka aku datang untuk meminta
uang, bahkan tidak seperti itu aku hanya ingin melewatkan liburan ku dan
merasakan keramaian bersama mereka. Lantas jika aku berkunjung ke tempat
kekasih ku, apa yang akan terjadi? Ntah lah. Aku hanya ragu ia tak
memperdulikan ku.
Untuk diri yang saat ini tengah
sakit, sebelumnya aku pernah mengalami sakit yang cukup menghawatirkan diri ku
dan Alhamdulillah sekarang aku sudah sembuh, semoga untuk yang kali ini allah
juga berkenan memberi kemudahan pada kesembuhan ku, dan untuk hati yang saat
ini tengah rapuh ku harap masih bisa terus untuk bersabar. Semoga sabar bisa
menjadi penolong untuk ku dalam keheningan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar